“Mereka anak-anak penyandang Down Syndrome, menanti bimbingan kita semua”
Bagi keluarga kami, kehadiran seorang anak perempuan / adik perempuan menjadi yang kami tunggu, setelah keluarga kami hanya diisi dengan pertengkaran, kegaduhan, dan “keriwehan” 3 anak laki-laki. Tapi 24 Juni 2002, telah lahir adik perempuan kami (anak ke-4 dari Ibu dan Ayah). Walau usia ibu yang hampir memasuki usia 40 thn yang sangat riskan dengan kelahiran karen sudah memasuki usia2 menopouse. Hari demi hari, kami melihat perkembangan adik kami, mulai membuka matanya hingga belajar tersenyeum. hingga hari-hari dimana bayi normal untuk berjalan, belum terlihat pada adik kami, dengan tertatih2 kami melihat perjuangan adik kami untuk bisa berjalan. Kami bersyukur sekali. akan tetapi, itu belum cukup membuat kami menunggu hingga umur cukup untuk berbicara, adik kami tidak bisa berbicara normal seperti anak-anak balita lainnya. membuat bahasanya sendiri, akan tetapi dia mengerti apa yang kami ucapkan. Tapi, kami belum bisa mengerti dengan jelas yang dia ucapkan hingga saat ini, hanya dengan kebiasaan yang bisa memahami bahasa adik kami.
hingga saatnya adik kami mengalami sakit yang cukup parah, dan kami membawanya ke rumah sakit sesuai dengan saran dari dokter. dari situlah kami, menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak “beres” dengan kondisi adik kami. ketika divonis jantung adik kami mengalami kebocoran disalah satu klep jantunnya diusia yang baru menginjak 3 tahum. dan dokter pun menyarankan untuk mengoperasi sebagai alternatif pengobatan. Akan tetapi, orang tua kami memikirkan ulang untuk melakukan operasi dan dokterpun memberikan saran yang mendukung pendapat orang tua kami. Akhirnya, dengan berjalannya waktu adik kami bisa bertahan walau dari keadaan fisiknya yang lemah ketika berpergian jauh.
Setelah bebarapa waktu berlalu, melihat perkembangan yang kurang bagus dari adik kami, dokter memvonis adik kami kedalam “down syndrome”. istilah yang mungkin bagi keluarga kami asing, dan hanya mungkin bagi masyarakat sekitar kami. walau istilah lain “idiot” atau apa yang disebutkan untuk anak2 yang menyandang down sydrome. Bagi ibu dan ayah kami, dengan segala kekurangnnya selalu memperlakukan adik kami seperti anak normal atau malah mungkin dipaksakan menjadi anak-anak normal, seperti harus bisa baca, tulis, dan bicara dengan jelas. Hal itu yang membuat terkadang, membuat hati ini ingin menangis ingin mengatakan kepada orang tua, adik kami butuh perlakuan khusus. tapi hal ini tidak bisa saya selalu “tekan” karena mereka yang orangtua yang tau mendidik dan sudah membesarkan tiga anak laki2. dan saya pun harus terpisah karena harus melanjutkan sekolah di Bogor.
Ketika saya melangkahkan kaki keluar rumah menuju Bogor, dalam benak saya “bagaimana adik saya bisa ketika selalu diperlakukan perlakukan menjadi “anak normal”, sedang ia mengalami down syndrome”. tapi kadang saya pun mendambakan seorang adik perempuan “normal” yang saya bisa ajak bermain seperti anak lainnya, hingga banyak perlakukan saya yang tidak seharusnya saya lakukan kepada adik saya. Dengan “menjewer” dan hal yang biasa dilakukan kepada anak normal yang melakukan kesalahan. kadang saya selalu menyesali itu, karena keegoisan, kebodohan, ketidaktahuan saya sebagai manusia” yang diberikan akal normal.
Hingga ayah kami harus pergi untuk selamanya disaat adik kami dalam perkembangan yang membutuhkan figur ayah kami. dan sampai hari ini, ibu saya menjadi “penjaga” adik kami yang selalu membimbing dengan kemampuan beliau. Seorang ibu yang selalu mendidik keras kepada anak laki2nya, harus mendidik anak perempuan yang mempunyai kelebihan “down sydrome”. Itu lah power kekuatan seorang Ibu kami, yang terus menjaga adik kami ditengah, berbagai masalah yang menghadapi keluarga kami.
Disaat saya juga harus kembali jauh, melanjutkan studi ke Jepang, mungkin ketika saya dibogor ketika Ibu sakit atau adik sakit yang harus pergi kerumah sakit, yang hanya dengan motor 4 jam bisa dilalui, tapi sekarang hanya bisa lewat komunikasi telpon tanpa tahu keadaan yang sebenrany disana. hati ini selalu tenang, ketika mendengar celotehan adik ynag “tidak jelas”, dan harus “diterjemahkan”oleh Ibu, apa yang adik kami katakan. tapi rasanya membuat saya semakin kuat untuk bisa bertahan hingga saat ini.
Mungkin dengan bidang keilmuan yang saya geluti, saya bisa mengerti sedikit apa itu “down sydrome” tapi pada kenyataan itu tidak cukup, apa yang harus saya lakukan dan bisa saya lakukan untuk adik kami, dan untuk anak2 yang mengalami down syndrome, “”belum bisa”””. Mungkin Ibu saya masih tergolong yang bisa memahami pentingnya pendidikan untuk anak2 penyandang downsydrome, walau untuk anak2 penyandang downsydrome lainnya??? tapi bagaimana dengan Ibu-2 keluarga lain yang mempunyai anak penyandang “down syndorme”?????. ketika Ibu saya bercerita bagaimana anak2 baru penyandang down syndrome dari sekolah adik saya yang “baru dimasukan” ke sekolah kebutuhan khusus. Dari yang tidak bisa mengontrol emosi hingga perbuatan2 yg tidak sepantasnya dilakukan, misalnya mukul temannya dll. Tapi ibu saya pun akhirnya menyadari pentingnya menyekolahkan adik kami ke sekolah berkebutuhan khusus di kota kami. dan kami berharap itupun dilakukan oleh Ibu2, keluarga lainnya untuk menyekolahkan anak penyadang down sydrome.
itu yang menjadi PR terbesar saya hingga saaat ini, “””satu kali lagi apa yang bisa saya lakukan untuk mereka”””. Semoga tulisan ini, tidak pernah didelete, yang terus mengingatkan saya untuk berkontribusi untuk anak2 penyandang down syndrome dengan bentuk dan cara apapun yang bisa saya lakukan dan mengajakan masyarakat Indonesia semuanya menjadikan anak2 penyandang Down Sydrome sebagai bagian dari mereka yang mendapat perlakukan “sama” dalam hak hidup mereka.
“Mereka butuh uluran tangan kita, menuju kehidupan yang lebih “nyata” untuk anak-anak penyandang “down syndrome”.
0.000000
0.000000